Bagaimana Caraku Mencintaimu?

Bagaimana caraku mencintaimu? Ah, pertanyaan klise teruntuk manusia-manusia penghamba rindu dan segala ekornya. Masalahya, bagaimana jika kau mencintai seseorang yang entah bagaimana tak bisa dijelaskan.
Bagaimana bisa, mencintai seseorang kok tak bisa dijelaskan? Bahwa jelas kata Om Mario Teguh, cinta itu logis, jelas logis, ditambah ocehan Tere Liye yang berkali-kali menekankan bahwasanya urusan cinta itu di bawah kendali akal dan pikiran, hanya dibumbui perasaan.
                Ah, makanya kau menanyaiku pertanyaan klise itu toh? Jadi kau sengaja mengujiku seberapa banyak diriku menempatkan akal dalam permainan yang rame dinamai jatuh cinta ini. Jadi, kau sungguh ingin tahu bagaimana caraku mencintaimu? Yakin mampu mempertahankan kokoh pendirianmu setelah aku menuturkan semua benang ruwet disetiap sudut lobus-lobus otakku?
                Mungkin kau takkan percaya bagaimana aku mengenalmu. Dari yang semula hanya sekedar pernah dengar namamu, tiba-tiba Tuhan dengan segala adidayanya menginzinkanku untuk tahu pada manusia mana nama itu meyematkan dirinya. Lalu aku mulai mengangguk-angguk sendirian, memahami kejadian simpel ini yang tak ku kira adalah awal dari sebuah kecelakaan besar dan beruntun, mencintaimu.
                Bahwasanya aku tau, mencintaimu tak kan pernah semudah ini. Aku paham benar bagaimana aku tumbuh menua, menyaksikan dirimu yang kian mendewasa, membuatku berdecak kagum akan setiap kebaikan yang kau beri. Kau dan segala kesederhanaanmu yang menjadikan luar biasa telah berhasil meluluh lantahkan mimpi-mimpiku menjadi berdua denganmu. Ah, sungguh aku jatuh dengan mudahnya pada setiap gelak tawamu yang memenuhi ruang memoriku.  

Sungguh aku ingat, membungkam bahagiaku saat berjumpa denganmu tak kan pernah semudah ini. 

Hujan Malioboro

Malioboro kian hari kian ramai, panas menyengat Jogja dan hiruk pikuk kendaraan yang padat menambah efek metropolitan Malioboro kian kentara. Namun, pernahkah sesekali pada cuaca mendung teduh menyempatkan diri menyusuri Jalan Malioboro yang terletak di jantung Kota Yogyakarta ini?
          
  Ya aku pernah, sekitar satu tahun yang lalu. Di suatu siang yang panasnya sangat menyengat hingga telapak kaki rasanya hampir terbakar, aku memulai perjalanan menuju Malioboro dengan bermacet-macet ria, tapi tak apalah, bagaimanapun macetnya Jogja aku sudah kadung jatuh hati. Dengan perbekalan kamera dan sebotol air minum perjalanan menyusuri Malioboro pun dimulai. Langit mulai menggelap dan suhu udara kian dingin. Aku memelankan langkahku menikmati suasana yang kian lama kian teduh sambil sesekali menatap langit  yang terlihat jelas keberatan menanggung awan-awan menebal.   Malioboro terasa sedikit lebih lengang sekarang. Gedung-gedung peninggalan Belanda di kiri kanan jalan yang menjelma pertokoan telihat kusam, dengan cat putihnya yang  mengelupas di beberapa tempat. Kian terhimpit. Tak ada ruang antar bangunan kecuali dipisahkan oleh jalan ataupun gang/gang kecil. Delman berderet dengan pak kusirnya yang khas memakai blangkon. Lampu jalan. Patung-patung ditengah pembatas jalan yang menghiasi muka malioboro. Bakul-bakul yang  masih saja menjajakan dagannya dengan ramah membuat Pasar Beringharjo tak pernah sepi. Semua hal itu bersatu padu membuat memori yang syahdu tentang Maliboro dikala mendung.
Lalu, seketika hujan mulai turun, membasahi aspal panas malioboro. Bau debu terguyur hujan yang khas naik ke permukaan menusuk hidung. Gedung-gedung tua itu bersentuhan dengan air, bercucuran turun lewat atapnya yang kadang merembes membasahi jalan disepanjang toko. Patung-patung dijalanan kegirangan, debu dan polusi berguguran dibawa hujan. Pak Kusir memilih sedikit kebasahan gara-gara angin nakal yang membelokkan hujan kedalam delmannya. Rupanya belum cukup disitu, malioboro yang kehujanan ini masih disuguhi atraksi cantik dari rangkaian pawai kebudayaan yang mengular. Membuat kerumunan orang-orang mendekat rela kehujanan. 
            Dimana aku? Diantara kerumunan yang bahagia itu, mengabadikan setiap momen dan sudut-sudut yang mencipta keindahan, sambil menyesapi bau hujan, aku menikmati setiap detik yang merdu, dibawah mendung, menunggui hujan, di antara gedung-gedung tua dan keramahannya yang tak hilang di usia senja
Ah aku tau, Malioboro ternyata masih cantik, nafas khas Yogyakarta-nya belumlah hilang dari pandangan. Ia masih mempertahankan “ketuan-nya” ditengah gempuran menjadi metropolitan.  Malioboro masihlah syahdu, apalagi dikala hujan begini, tak henti-hentinya ia menghadiahiku kenangan. 

Tak Kenal Maka Kenalan

Ini Saya
Assalamualaikum
Hallo
Anyyeong Haseyo

       Yeay sebelum saya bercerita banyak tentang apa saja alangkah baiknya kalau saya mmeperkenalkan diri terlebih dahulu. Ibarat kata sudah ngobrol panjang lebar tapi belum saling kenal kan jadi berasa ada yang ngganjel. Untuk menjawab rasa penasaran kalian yuk lah cap cus. Jadi saya lahir dengan dihadiahi nama "Syfa Amelia". Sebenernya sih namanya agak typo karna seharusnya ada huruf "I" di "Syfa" tapi ya sudahlah. Ketika dirumah saya dipanggil Syfa, tapi ketika diluar sungguhlah jarang nama itu melekat. Saya seringnya dipanggil Cibi. entahlah mungkin karna sudah kebiasaan jadi lebih sering menyebut diri sendiri dengan "Cib" bukan lagi "Syf". 
      Lahir dan besar di Purworejo. 10 tahun tinggal di Kemiri sebuah kota kecamatan yang enggak begitu sepi-sepi banget lah, kemudian sisanya menetap di Prapag Kidul, sebuah desa di kecamatan Pituruh di pucuk-pucuk barat daerah Purworejo yang cuma sepelemparan batu ke kabupaten tetangga. Dan percayalah, ketika main-main kesini mohon siapkan provider Telkomsel demi kenyamanan berselancar didunia maya. 
     Saya termasuk generasi 90an. Lahir di bulan kesepuluh tanggal 22 tahun 97, kalau dipikir-pikir saya kerasa semakin menua. Punya adek satu yang juga lahir di bulan Oktober dan sekarang masih kelas 1 SMA. Adek saya yang satu ini dulu pas kecil tubuhnya miniiiii bangeeet, bahkan orang serumah sampai khawatir kalau adek saya bakalan tumbuh menjadi seorang lelaki dengan postur tubuh kecil sedangkan mbakyu satu-satunya ini malah tumbuh keatas dan kesamping :( :( :( but, kekhawtiran itu sirna, terbukti begitu menginjak bangku SMP dia langsung berubah wuussh kaya power rangers. Sekarang aja tingginya ngelebihin mbaknya, mungkin ya sekitaran 168/169an? entahlah saya kurang berjodoh dengan yang namanya angka. 
         Hems, apalagi ya? oh iya, saya menamatkan pendidikan saya dari SD-SMA selama 11 tahun di Purworejo. SD N Kemiri, SMP N 3 Purworejo, SMA N 1 Purworejo. Bisa dilihat kalau saya tidak pernah sekolah di Pituruh, dan itu ternyata menyebabkan masalah tersendiri : Saya nggak hafal tetangga saya :( secara saya baru pindah ke Pituruh pas SMP kelas satu, sedangkan SMP saya berangkat pagi pulang sore, terusss, dan teman-teman saya bukan sedaerah pula, SMA malah ngekos, jadi ya akhirnya saya kurang bergaul dengan tetangga yang rumahnya berjauhan :(. Dan sekarang, ini adalah tahun kedua saya di Jogja sebagai Mahasiswa. Alhamdulillah, berkesempatan menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada setelah setahun kemaren saya masih beralmamaterkan biru tua. 
        Saya seneng main, jalan-jalan ke gunung terutama. Soalnya kalau ke gunung itu hawanya adem, seger liat yang hijau-hijau. Seneng menulis ala kadarnya tanpa ada aturan APA Style, tapi saya pengen banget dan sedang berusaha mahir menguasai APA style sampai tuntaaaaasss.  Seneng masak, suka masak, karna pada dasarnya saya doyan makan, enggak sehebat chef-chef begitu sih, tapi kalau buat masakin kamu bisaa lah wkwkkwkwk. Saya seneng sepedaan, apalagi kalau pas dirumah hari libur pagi-pagi bisa nyepeda sampai 10 km an lebih. Jauh lebih seneng sepedaan timbang lari-lari. Ngefans berat sama korea drama dan tetek bengeknya. 
        Pada dasarnya, saya hanyalah seorang manusia biasa yang berkesempatan melihat dunia degan segala kekurangan dan kelebihannya, wanita biasa-biasa saja yang berusaha menjadi luar biasa. 
       Sebagai penutup, mohon doakan saya agar bisa menjadi lebih baik lagi, lagi, lagi dan lagi :) :) :)

NB: Mohon maaf untuk perkenalan singkat yang acak adut ini